bila jemari menari
Terkadang seringkali hati ini tesalah percaturan. Lantaran keinginan hati dan rasional akal yang tidak sudah bertingkah. Tetapi aneh sekali, sepintar-pintar akal membidas, hati tetap selalu menang. Manusia. Yang hak selalu menjadi tidak. Tatkala nanti dia jaga dari lena, semuanya selalu lewat. Angan-angan memang tak pernah seindah realiti.
Dan akal pun bersorak riang tanda menang tatkala melihat insan menangis sesalkan kata hati. Dan langit mula berasa bosan dengan rintihan manusia saban malam. Rungutan yang tak pernah mahu bersyukur. Tapi bintang tetap setia menjadi teman. Walaupun hujan selalu iri melihatkan mesra alam dengan bulan, tapi jauh di sudut hati, masih ada sedikit kebaikan yang tersimpan. Lalu di saat itulah pelangi memunculkan diri. Menjadi saksi yang titisan hujan pun masih berganding dengan cahaya. Mencorak warna-warna indah di langit biru.
Tapi masalah masih belum pergi. Manusia masih tetap mengeluh saban hari. Entah apa yang dirungutkan. Percaturan yang tak pernah sudah. Rosak! Binasa semuanya! Terdetik rasa ingin tahu sang rerama yang indah terbangnya, apakah yang bermasalah. Dan beburung pun menjawab soalan yang menderu dibawa angin..
Hati itulah yang salah. Tapi salah hati bukan tak berpokok pangkal. Manusia yang buat hati jadi begitu. Manusia yang buat hati jadi sepi dan tak terisi. Dulu bila disuruh mengaji, kaki dihentak-hentak. Bila dimarah sedikit, mulalah menangis. Manja! Itulah yang silap. Itulah yang salah. Itu puncanya. Hati itu terlalu rapuh akibat sering dimanja.
Bicara tak sesukar menyusun madah. Tapi semudah-mudah bicara, aksara masih sering menjadi pilihan. Sebab pena ditinta dengan rasional akal. Tambah indah bila tinta berkait rasa. Tapi bicara lidah yang nampak mudah itu seringkali tak mampu sehebat tinta. Kerana lidah itu kerap sekali telajak bicara. Lalu tak sedar banyak jiwa yang terluka kerananya. Silap bicara lagi bila madah indah yang disulam terlihat mudah. Munafik kau lidah! Kala kata tak dikota, pasti banyak luka yang kau carikkan dalam sekeping hati itu. Siapa lagi yang salah? Lidah jadi hiba bila dituding menjadi musabab. Kenapa aku yang salah?! Bukan. Tidak. Salah masih berpunca dari manusia yang sering tersesar jauh dari rasional akal. Hati juga yang menang.dan nanti manusia menangis lagi bila terbukti sekali lagi hati dusta.
Manusia. Selalu khilaf meletak rencana. Banyak sekali buku yang kau baca tapi mengapa masih jahil menilai? Kesian kau hati. Masih membiar diri menjadi kambing hitam melayan kerenah manusia yang tak sudah. Lagi-lagi kau yang salah. Tapi tak siapa tahu suara yang menangis saban dinihari itu hakikatnya suara hati. Hati dari sisi yang satu lagi.